Fase Layu: Teman Keluh kesah.
Ada banyak senyum yang hilang selepas perpisahan. Kalimat selamat tinggal jadi terdengar menyakitkan, lalu tangis bagai bumbu keikhlasan. Kala itu Mawar hanyalah anak kecil yang tak tahu apa-apa selain menangis, menangis melihat punggung Ibunya yang kian menjauh bersama koper yang ia bawa.
"Ibu janji akan pulang ketika Mawar ulang tahun." Sebuah isi surat yang diselipkan pada jemari kecilnya.
Promise is promise. Semua hanya omong kosong, sampai dirinya beranjak dewasa tak sekalipun Ibunya menampakkan diri. Mungkin saat itu hanyalah sebuah kalimat penenang, mungkin saja Ibunya sudah lupa akan ulang tahunnya.
"Tidak ada doa bahagia untuk anak yang malang, tapi, semoga sehat selalu Mawar Nilam." lilin padam tanpa adanya tepukan perayaan.
Merayakan seorang diri sudah menjadi kebiasaan, dan benar kata Himeke jika ia sangat haus akan validasi sebab tak pernah mendapatkan apresiasi. Sungguh, Mawar mengakui itu.
Selepas melakukan formalitas ia kembali pada aktivitasnya semula, belajar. Baginya tak ada yang patut dibanggakan selain menjadi pintar meskipun otaknya pas-pasan. Sebab ia juga tak ingin banyak berharap seperti mendapat nilai paling besar dikelas atau sekedar masuk sepuluh besar. Lagi pula jika ia mendapatkan itu semua mau dipamerkan kepada siapa? Ayahnya? Ah, bahkan beliau hanya pulang untuk mengingatkan jika Mawar harus tetap hidup alias jangan sampai mati meskipun tak makan sama sekali karena dengan itu Ayahnya bisa menjadikan alasan untuk dapat uang transferan yang katanya dari Ibu. Bahkan Mawar tak benar-benar yakin jika Ibunya masih punya rasa peduli terhadap dirinya.
Disela-sela mengerjakan soal bahasa Indonesia ia jadi tertawa kecil, bagaimana bisa ada cerita keluarga bahagia di soal no.15 sedangkan dikamus hidupnya tak ada. Bahkan terakhir kali merasakan bahagia hanya saat hujan-hujanan bersama Kak Pranatha minggu lalu. Yang nyatanya Kak Pranatha pun tak pernah tahu jika Mawar hidup sendiri sebab ia tak pernah ingin diantar sampai depan rumah.
"Nanti antar sampai minimarket aja ya, Kak." Selalu seperti ini dan berbagai alasan lainnya.
Mawar merasa tak enak jika harus memamerkan rumahnya yang biasa-biasa saja. Tidak ada hal yang menarik didalamnya jadi untuk apa menerima tamu untuk memenuhi rumah? Kadang kala Mawar sendiri pun malas untuk pulang.
Huh.. sedikit menguap sebab memikirkan ini itu tanpa sadar ia sudah menyelesaikan semua soal dari tugas kuliahnya. Menjauh dari meja belajar kini ia kembali menatap langit-langit kamar untuk memikirkan hal-hal payah lainnya. Membiarkan isi kepalanya penuh akan bisik-bisik yang makin lama makin menjadi rutinitasnya.
"Ternyata benar, tempat keluh kesah ternyaman ada
pada diri sendiri."
Maka dengan itu ia tak pernah menyesal menjadi dewasa seorang diri. Meski terkadang butuh bantuan untuk meluapkan kisah-kisah pahit yang dijalani. Lagipula, Bunga yang tumbuh tanpa bantuan air masih tetap bisa mekar juga, asal, tidak ditinggal oleh matahari.
Komentar
Posting Komentar