Resep pupuk: Tumbuh ia tanpa jenuh.
Apakah ada yang tau seperti apa rasanya disambut? Dibukakan pintu dengan raut sehangat selimut. Di rawat pula disediakan lauk saat perut rasanya tak bisa menahan asam lambung. Dan mungkin itu terjadi di dalam rumah orang lain, bukan di dalam rumah Mawar.
Pot nya terisi tanpa pupuk, bahkan tak jarang ia seringkali kering sebab miskin sautan penyambut. Mawar memang memiliki ayah, namun sosoknya tak pernah pulang. Mawar memiliki ibu, namun sosoknya ditelan oleh batu. Ia hidup dalam kelambu tanpa lampu, dan andai saja ia tak mengenal Pranatha maupun Himeke, hidupnya sudah gulita berlapis nelangsa.
"Harusnya aku minta Kak Pranatha sampai lebih lama, karena aku ga suka di rumah."
Ia pergi menyalakan lampu di setiap ruangan. Tak pernah merasa takut karena sendirian namun ia takut tak bisa hidup tanpa orang yang memberinya perhatian. Mawar sungguh haus atensi, ia jelas butuh validasi sebab keluarganya tak pernah ajarkan ia hidup mandiri. Ia hanya terpaksa tumbuh sendiri.
Jikalau hewan punya keluarga, mengapa Mawar tidak? Jikalau harus dipelihara, mengapa Mawar tidak? Ia sungguh ingin dirawat seperti saat berkunjung ke rumah Himeke atau sekedar mampir ke rumah Pranatha. Mereka sangat beruntung memiliki ibu yang pandai merawat, menjaga, bahkan sekecil menata pakaian untuk sekolah anaknya bahkan menunggu anaknya pulang walau langit sudah tenggelam.
Rumah hanya seperti hunian mati tanpa obrolan kecil di dalamnya bagi Mawar. Rumahnya tak sebagus itu untuk dipamerkan. Lantas saat pertama kali Pranatha hadir, pria itu hanya diam tanpa berbicara apapun.
"Duduk sini dulu ya, aku ambilin kakak minum dulu."
Mawar aslinya meringis malu, menenggelamkan dirinya pada balik pintu arah dapur. Buru-buru membuatkan Pranatha minum juga sesekali mengingat-ingat apakah ada makanan manis yang ia punya. Walaupun seringkali tinggal sendiri dan jarang ada orang yang berkunjung namun ia paham cara menjamu tamu dengan baik.
"Kenapa cuma ada mie instan doang?" Lemari kayu itu terlihat sepi, tidak ada hidangan lain selain roti juga... mie instan.
"Aku suka mie kok."
Tergejolak kaget setengah mati tiba-tiba Pranatha muncul tepat dibelakangnya. Waktu seketika berhenti bagi Mawar. Ia langsung menutup pintu lemarinya dan berjalan sedikit berjarak dari Pranatha.
"Ga boleh tau makan mie terus," ucap Mawar.
Dahi Pranatha berkerut, "Harusnya aku yang ngomong gitu ke kamu." Lalu dibalas kekehan oleh Mawar.
Pranatha pun mengambil minum yang ada di atas meja, meneguknya hingga habis. Mawar yang melihat itu sontak menganga tanpa sadar. "Harusnya kamu tunggu di ruang tamu, Kak." Diletakkan gelas bekas ia minum itu kembali, "Gapapa biar kamu ga sendirian."
Asalkan Pranatha tahu jika Mawar selalu ingin merasa egois terhadap beberapa hal, terhadap usia ibunya yang ia harap bisa hidup lebih panjang, terhadap ayahnya yang ia selalu ingin dengar berkataan santai bukan hanya cercaan lantang, juga tentang Pranatha yang semoga selalu mau mengubah harinya menjadi ramai, setidaknya seperti hari ini.
Namun Mawar bukanlah siapa-siapa yang bisa mendapatkan itu semua, lagi pula takdir sudah tertulis sebagaimana semestinya. Mawar hanya bisa menjalankan sisanya, sebisanya, dan sekuatnya.
***
Kudapan di atas meja setelah hura-hara antara siapa yang akan mengalah perihal cabai di dalam kuah. Tentu, Mawar yang menang. Aroma yang menusuk lembut lewati hidung membuat Pranatha mempercepat aktivitas membersihkan meja. Hingga tertata rapih oleh garpu, sendok, dan juga dua mangkuk mie rebus dengan irisan sosis garing. keduanya saling duduk bersebelahan alih-alih saling duduk berhadapan karena di depannya sudah siap serial kartun kesukaan. Iya, mereka akhirnya memasak makanan yang ada.
Mungkin bersama memang tidak harus ditempat yang mewah rupa megah, mungkin pula tidak harus pakai balutan cantik serta mahal, mungkin bersama hanya cukup lengkap jika saling selalu ada. Mungkin bagi Mawar bersama itu paling nyaman saat ada Pranatha.
Sudut paling lengkap dari segala sisi yang Mawar bisa dekap, yaitu melihat Pranatha makan dengan lahap. "Aku udah berkali-kali coba resep yang kakak kasih ke aku, pertama kali agak kering terus kakak bilang lain kali airnya disisain sedikit dan ternyata BOOM aku rasa udah berhasil sekarang." Bulan sabit pindah diantara sisi ujung manik mata Mawar. Berbinar dengan senang saat Pranatha mengusak rambutnya pelan, "Sekarang kamu yang lebih jago bikin mie nya daripada kakak."
Semua yang Mawar bisa adalah bentuk dari cita yang tulus dari Pranatha. Bukan hanya sekedar membuat mie dengan telur yang diaduk langsung di dalamnya justru ada banyak hal lain yang Mawar tiru dari seorang Pranatha. Ia seakan maju selangkah dari pintu gelap dibelakangnya.
"Kakak, terima kasih, ya!"
Komentar
Posting Komentar